Minggu, 18 Oktober 2009

Cerpen

KISAHKU

Aku kehilangan semua….. kehilangan masa indahku, aku sedih…. Tapi…. tak bisa aku berkata…. aku sedih!!! Aku tidak bisa menyalahkan keadaan… aku tak bisa juga menyalahkan catatan takdirku…

Apakah cukup sudah, aku merasakan kebahagiaan…. Apakah cukup sudah, aku merasakan semua…. Aku berusaha untuk bertahan dalam keadaan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya…. Tuhan berikan petunjukMU untukku... 7 tahun berjalan, membuat aku harus bisa menjalani hidup dengan tenang. Tidak dengan keadaan sebelumnya, yang membuat aku tak bisa tidur lelap sepanjang 7 tahun yang sudah ku lewati ini… aku harus cepat menyelesaikan shalat malamku ini, aku tidak boleh tidur larut malam. Esok, masih ada yang lebih penting selain memikirkan hal yang sudah seharusnya aku terima. Enam jam terlewati, subuh haripun telah hadir untuk pengikutNYA dan alhamdulillah aku sudah menghadapNYA Dan saatnya aku pamit seperti biasa kepada ibu, aku harus berangkat sekarang, sebelum keadaan yang sebagian orang tidak mau nenjumpainya setiap hari datang… maklum, tinggal di Ibukota membuat sebagian penduduknya harus gerak cepat.

Akhirnya, dua jam saja aku bisa sampai di tempat yang aku cari. Aku harus mencari toilet, aku harus bisa memberikan kesan yang baik dalam wawancara pertamaku ini. Ini kali pertama pengalamanku mencari kerja. Sungguh, aku gugup. Rasanya, aku tak berdiri sempurna. Sekarang, aku sudah berada di tempat di mana banyak sekali orang yang akan di wawancarai. Kenapa aku harus merasa tak percaya diri, apa karna pakaian yang kukenakan itu jauh sekali sebanding dengan yang lainnya!? Ah… sekarang pakaian dan penampilan bagiku itu hal belakangan, karna kemampuanku adalah modal keberanianku itu satu hal yang membuat aku berani melamar ke purusahaan yang bonafit itu. 29 sebuah angka yang begitu jauh, tapi aku harus bisa bertahan menunggu.. ini demi ibuku, ibu yang teramat ku sayangi.

“Senin depan, anda harus datang kembali. Untuk tes selanjutnya.” J terimakasih pak. Aku hanya bisa mengatakan hal itu, saat mendengar kata terakhir dari sang interviewer. aku harus mencari sang pelepas dahaga, karena hampir tiga jam aku menunggu dan sampai selesai wawancara aku, aku belum minum. Aku menemukan tempat berteduh yang bersebelahan dengan penjual air minum tepat di pinggir jalan disamping kantor bonafit itu. Ku teruskan perjalananku, aku harus menghemat ongkos karena itu aku harus berjalan ke stasiun kereta api itu, Terik sinar matahari begitu menyengat sekali, baru saja aku melepas dahaga bahkan belum satu jam aku suda merasa haus lagi.

Hampir saja, aku ketinggalan kereta api tujuan cakung. Kaena asyik berdiri dengan sebotol teh manis ini. Aku harus menjenguk ayah. Ayah yang sendiri dirumah, hanya bisa duduk dikursi kesayangannya. Sesekali keluar membeli sesuap nasi dan keperluannya saja. Tidak begitu waktu lama untuk ke rumah ayah, satu jam adzan dzuhur telah kudengar, tapi belum sampai juga. Setengah jam berlalu, akhirnya sampai juga. Pukul 2 siang sekarang, aku melangkah cepat, dinding yang terlihat rapih dibaluti dengan cat warna biru muda yang terlihat sedikit pudar itu sudah didapati oleh pandanganku, hanya setengah meter jaraknya. Dari stasiun tempat di mana kuturun tadi. Senyumku terpancar, bukan karena ku merasa sudah sampai, tapi karena aku sudah mendapatkan tempat singgah yang mana aku harus cepat menghadapNYA walau tidak menuup kemungkinan aku senag akan berjumpa dengan ayah.

Aku hanya bersalaman dan memeluk ayah , aku tak banyak waktu untuk bercengkrama. Aku harus shalat!! Ayah memaklumi ku, setelah itu hanya satu jam aku bisa dekat ayah. Aku tak banyak punya waktu, selepas menjalankan shalat ashar. Aku bergegas pulang, aku pamit sama ayah. Ayah terlihat sedih, tapi aku tidak. Aku harus bisa menahan tangisku, itu demi ibu!! Lagi-lagi karena ibu.

Seperti hal berngkat tadi, aku membutuhkan waktu hanya 2 jam. Begitupun kembali ke ibu. aku butuh 2 jam. Aku tak bisa berkata, aku harus balik kerumah, karena itu bukan tempat tinggal kami, maksudku tempat tinggal aku dan ibu. Kami hanya bekerja di sana. Di tempat rumah Dermawan itu. Aku salut ke ibu, ibu yang berani menghadapi semua dengan tenang. Sehingga mau menjadi pegawai ditempat dimana ku tinggal sekarang. Tidak dengan ayah, yang selalu meratapi semua yang sudah terjadi. Semua apa yang ayah punya hilang, hilang bukan berarti diambil. Hilang yang nyata, yang sebelumnya dihabiskan untuk keperluan kami sekeluarga. Bukan dihabiskan dalam arti boros, tapi memang untuk keperluan. Sampai pada akhirnya, kami tak punya apa-apa. Sejak itulah ayah hanya bisa diam dan tak mempunyai semangat hidup! Ibu yang tak bisa diam diri, akhirnya meminta izin untuk pergi mencari hasil yang bisa untuk membeli sesuap nasi. Aku diajak ibu, saat aku berumur 14 tahun. Saat itu, aku duduk di kelas 2 SMP, saat itu pula entah kemana kakak-kakak ku sekarang. Tak pernah ada kabar, bahkan pulang. Itu juga yang barangkali membuat ayah kehilnagan kata-kata.

Lamunanku terhenti, aku sudah sampai si stasiun kota. Aku harus cepat naik metro mini. Sepanjang perjalalan, Ku terus terbayang ke ayah, kenapa ayah tak menitipkan satu kata pun ke ibu? apa salah ibu? Menurutku, ibu sangat baik. Nafasku sesak, cukup sepertinya. Aku memikirkan keluargaku. Aku harus istirahat, lumayan walau hanya 20 menit. Itu cukup membuatku segar. Saat bangun, aku hampir dekat wilayah tempat kami tinggal. Sampai juga. Sekarang aku harus cepat-cepat bantu ibu, menyiapkan makan malam untuk dermawan itu. Saat kutemui ibu, melalui pintu belakang, ibu sangat terlihat lelah. aku bersalaman cepat, dan tak mengerjakan apapun. Selain membantu ibu. Hanya tinggal membuat minuman sekarang, sejak ku datang tadi, ibu sudah menyelesaikan semua. Ibu hanya memandangiku dari tempat duduknya. Sambil sesekali meneguk air teh hangat yang ada digengamannya! Makan malam kelurga dermawan ini, setelah magrib dan tidak boleh telat. Karena itu, kami harus menyiapkan itu semua sebelum beberapa jam sebelum makan malam tiba.

Kami berjamaah, aku memeluk ibu dengan erat. Ibu menitiskan air mata, bahkan aku sendiri sudah tak bisa menahan air mataku lagi. Aku menceritakan apa yang kulakukan seharian tadi, begitu pun ibu. Ibu tresenyum lebar saat aku harus balik lagi pada wawancara step ke dua. Ibu pun tersenyum karena ku baik-baik saja dari pergi hingga pulang, baginya, katanya, tidak ada kepuasaan melainkan melihat kebahagiaan seorang anak ! ibu, juga hebat. Kataku saat itu. Karena tidak pernah lelah dalam menghadapi semua. Tidak sadar, tiba-tiba kami mendengar keluarga Dermawan itu sudah melangsungkan makan malam. Kami lupa mengeluarkan air minum. Ibu cepat-cepat berlari dan aku pun larut berdoa, aku meminta dimudahkan dalam segala jalan yang aku hadapi sekarang bersama keluargaku.

Kutemani ibu diruangan yang selalu membuatnya tak bisa istirahat, ibu membersihkan semua. Aku membantu ibu. Malam berlalu cepat, hanya itu yang kami kerjakan setiap harinya. Sekarang malam senin, esok waktunya ku lebih siap dari wawancara yang sebelumnya. Ku lelep dalam tidurku.

Berjalan apa yang seperti aku mau, pagi ini. Aku bisa membuktikan ke ibu. Bahwa aku bisa mengembalikan semua nantinya. Mengembalikan senyum ayah, menyatukan ibu-ayah, serta pasti bisa mengembalikan keluarga kita sepeti dahulu. Aku diterima sebagai Staff Administrasi di kantor itu. Sekarang, hari ini. Aku sudah bisa bekerja, walaw hanya beberapa jam saja. Awal yang baik bagiku. Aku fokus kepada pekerjaan ku, sesekali ada ibu di pikiranku. Aku cepat menepisnya, karena aku takut mengganggu konsentrasi ku.

Aku pulang, dengan senyum. Ibu menyambutku dengan pelukan. Ibu khawatir terhadapku. Maklum, kami tak mempunyai alat untuk berkomunikasi. Dulu aku punya, saat tiga tahun kuliah D3. Itu juga pinjaman akhwat yang selalu prihatin terhadapku, sebenarnya itu hadiah untukku, tapi bagi ku itu hanya pinjaman yang harus dikembalikan kepada sang pemiliknya. Tega mungkin kelihatan dan kedengarannya, sebuah hadiah yang ikhlas diberikan malah justru dikembalikn. Akhwat itu, ketua forum kajian kemahasiswaan di kampus ku dulu, dan aku menjadi wakilnya. Jelas saja, dia kasihan terhadapku. Setiap kali ada kajian, dia harus mencariku keliling kampus kami. Beruntung, wilayah kampus kami tidak begitu luas. Dengar-dengar dari teman, dia sangat prihatin kepadaku, sampai-sampai aku tak punya alat komunikasi. akhwat itu baik, tapi entah dimana dia sekarang? Ibu, terus memelukku. Aku berkata ke ibu, bahwa aku akan terus berdoa untuk ibu dimana pun aku berada, dan aku pun selalu mengingat ibu dan ayah serta kakak setiap hariku. Aku menenagkan ibu, dalam kekhawatirannya, sambil kuberi air hangat yang ku ambil dari dapur. Ku biarkan ibu menatapku. Diamnya ibu, menjadikan aku mengingat kembali soal akhwat itu, ia begitu baik terhadapku, tetapi kenapa aku tak bisa membalas kebaikannya sampai kami dinyatakan lulus menjadi sarjana. Kehentakan nafasku, membuang yang baru saja kufikirkan. Ku tertuju ke ibu, yang sedang menatapku tajam.

Ibu tertawa akhirnya, saat ku menceritakan semua. Ibu sujud syukur saat itu juga, tetapi tiba-tiba ibu menangis. Sambil berkata, akankah kita meninggalkan tempat tinggal kita sekarang nak! Jika upah kerja mu nanti sedikit mencukupi biaya hidup kita? Dan Aku diam. Sesekali ibu bilang, kita tidak mungkin nak bisa meninggalkan Dermawan ini. Mungkin saja bu, setiap segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya bu. Tidak sekarang, mungkin nanti. Sudah malam bu, kita harus tidur.

Sebulan berlalu, alhamdulillah gaji pertamaku telah ada di tanganku. Ibu pasti senang mendengar hal ini. Aku memang tak berniat langsung balik ke ibu, aku harus ke ayah sekarang, ayah harus tau berita ini. Gimana kabar ayah? Aku tak tau sekarang, satu bulan aku tak menjenguk ayah. Selang berapa jam, aku sampai tepat di depan rumah yang ayah tempati. Ku buka pintu rumah ayah sambil memberi salam, tidak langsung kutemui ayah saat ku masuk. Ku selusuri rumah tiga ruang kebelakang itu dan tepat ruang kedua kujumpai ayah yang sedang bermunajat(berdoa). Kutunggu ayah diruang depan sambil menatapi gambar kecilku.

Seperti biasa, ayah tak banyak berkata. Selain memberikan sentuhan sayangnya terhadapku. kasih sayang ayah terhadap anaknya. Ayah langsung menghampiriku sambil memelukku erat, ayah menangis, ini pertama kali ku lihat ayah menjatuhkan air matanya. Ia terus memelukku erat, aku tak kuasa bertahan untuk tegar, akhirnya aku pun menangis terisak-isak. Beberapa menit setelah itu, ayah mulai berkata sesuatu kepadaku. Sontak aku terus memagang tangan ayahku, ayah bilang. Ayah seperti kehilangan setengah nyawa, saat keluarga kita mulai tak utuh. Ayah hanya meninginkan darah dagingnya terkumpul. Bukan menyesali harta yang telah hilang. Kalau saja ayah bisa memberikan yang kalian mau seperti dahulu, ayah pasti tidak seperti saat ini. Subhanallah, satu persatu KAU tunjukan apa yang menjadi pertanyaanku selama ini. Aku sangat bahagia, melebihi apa yang telah kudapati pada hari ini, upah kerjaku tak sebanding dengan apa yang kudapat hari ini, melihat ayah ku tersenyum dan berbicara seperti dahulu! Aku sangat menyayangi ayah, bisikku saat ku pamit pulang.

Aku sudah kembali kepelukan ibu, ku pandangi wajah ibu saat tidur. Aku tak berani menceritakan kejadian yang ku alami bersama ayah tadi, aku hanya takut ibu lebih merindukan ayah saat mendengar ayah sudah mau berbicara, bahkan aku sudah berbohong kepada ibu, bahwa aku mendapatkan upah kerja hanya tujuh ratus ribu saja. Satu juta sebenarnya, kuberikan ayah saat ku datang sore tadi sebelum bertemu ibu. Ku ciumi tangan ibu saat ku tau, ini tak baik untuk kulakukan. Aku hanya ingin adil memberikan apa yang aku punya kepada ke dua orang tuaku. Ayah-ibu aku syang kamu, ucapku saat aku sudah mulai memejamka mataku.

Hari ini datang bu, hari yang ibu inginkan. Hari di mana ibu bisa pulang untuk mengabdi ke ayah, hari dimana ibu bisa mencurahkan kasih sayang ibu ke anggota keluarga. Tapi, hari ini pula yang ibu takutkan, di mana hari yang ibu tidak mau mengecewakan Dermawan yang telah membantu kita semua, bahkan kita sekeluarga. Ibu teramat berhutang budi ke Dermawan ini, keluarga yang terlahir penuh Ke mewahan serta berkecukupan, mungkin dahulu keluarga kami juga seperti itu, tetapi setingkat di bawah mereka keadaannya. Dermawan ini, yang membebaskan ayah dari hutang-hutannya, yang memberikan aku ibu dan ayah menjadi bisa tetap hidup hingga akhir ini, itulah pertolongan Tuhan yang jelas bagi kami melalui Dermawan ini pastinya. Aku di sekolahkan, di kuliahkan, itu sangat cukup bagi ku. Karena itu, apa pun yang mereka ingin berikan ke kami, sungguh kami tak kuasa untuk mengambil serta menerimanya. Bukan menolak, tetapi itu tidak lebih untuk kami menghormati beliau. Ibu berat untuk meninggalkan sang Dermawan, ibu terus menangis di hadapan nyonya besar itu, ibu terus menundukan kepala tak kuasa untuk menatap nyonya, aku bukan memangil nyonya kepada beliau. Aku memanggil ibu, bukan karena aku yang mau, itu karena perintah beliau. Beliau bilang, beliau senang jika aku memanggil ibu kepadanya. Tiba pada saatnya kami pamit pulang untuk menemani ayah di rumah. Ibu/nyonya kami menangis sedih begitu pun kami. Pesannya hanya, setengah harta yang ku punya da sebagian harta kalian. Bagaimanapun, kamu tidak perlu merasa apa yang ku beri itu dariku, semua itu hanya milik dariNYA melalui aku sehingga ku bisa berbagi untuk kalian. Hanya saja ketentuan jalannya seperti ini, itu saja yang saya bisa katakan ke kalian. Kata nyonya saat itu. Ibu mencium keningku, sambil berkata apapun yang aku berikan kamu semoga bermanfaat doakan kami, semoga kami bisa tetap menjalankan hidup seperti ini. Sungguh, aku menangis dan erat memeluk ibu, maksud ibu disini adalah nyonya.

Aku dan ibuku di antarkan ke teras depan rumah, perasaan kami tak karuan malam itu, tepat malam 29 Ramadhan dua hari menjelang hari Raya idul fitri. Kami tak henti memanjatkan syukur, saat kami bisa pulang untuk menemui ayah. Nyonya bisa melepas kami, sejak aku punya kerjaan yang bisa menghidupi ibu dan ayah, walaupun upah kerja ku tidak seberapa. Tapi itu cukup bagi kami. Setahun aku bekerja merubah keadaan 7 tahun yang kami lewati, aku kembali ke ayah. Betapa ibu senang dan tak pernah menjauh dari ayah. Ayah mulai menemukan semangat hidupnya sedikit demi sedikit, aku memberikan setengah pendapatan ku untuk mereka membuka usaha. Kami membuka toko tepat di depan rumah kecil kami. Kami bahagia, akhirnya kegembiraan kami datang kembali dengan melewati tujuh tahun lamanya, 4 tahun bekerja aku sampai lupa memikirkan pendamping hidupku.

Ibu bilang, aku mendapatkan sepuck surat dari seseorang, aku terkejut. Akhwat yang ku kenal dulu masih menunggu ku untuk menjadi seseorang yang berarati dalam hidupnya, darimana dia tau alamatku? Aku tak pernah mempunyai no telepon siapapun, saat 4 tahun lalu. Bahkan yang aku punya 4 tahun ini hanya no telpon nyonya serta teman-teman kantor ku!? Apa mungkin….. “facebook” subhanallah… 1 petunjukMU KAU berikan lagi kepadaku. Syukur kuucapkan saat aku selesai membaca surat dari akhwat itu. Padahal, 4 tahun kerja aku baru tertarik membuat facebook seminggu lalu, karena aku pikir itu hanya akan membuat kinerja ku nanti terganggu, selalu ada ketertarikan untuk selalu membuka dunia maya itu. Ternyata, tidak selalu seperti itu, aku mendapatkan kebaikan dari hal ini, aku bisa silaturahmi kembali kepada teman-teman dahulu. Ya Allah, semoga saja. Aku benar bisa bertemu.

2bulan kedepan, aku akan menikah kepada akhwat itu, “ALLAH menguji hambanya sesuai kemampuannya.” Aku merasakan semua ujianNYA, kini saat aku mersakan nikmatNYA untuk menjalankan sunnah RasulNYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blog Design by Template-Mama.